Skintific
Skintific
Skintific Skintific Skintific

Biara Biara Runtuh, Kekuasaan Raja Tumbuh: Dampak Dissolution of the Monasteries

Skintific

Dissolution of the Monasteries: Ketika Raja Henry VIII Membongkar Biara-Biara Inggris

Koran Bandung- Dalam sejarah Inggris, ada satu masa yang menandai pergeseran besar dalam kehidupan keagamaan, kekuasaan kerajaan, dan struktur masyarakat. Peristiwa itu dikenal sebagai Dissolution of the Monasteries, atau Pembubaran Biara Biiara, yang berlangsung pada 1536–1541. Langkah ini tidak hanya mengubah wajah Gereja di Inggris, tetapi juga merombak sistem kekayaan, kepemilikan tanah, dan kehidupan sosial rakyat.

Di balik peristiwa besar ini berdiri satu nama yang sangat berpengaruh: Raja Henry VIII, penguasa yang dikenal dengan enam istrinya, keputusan kontroversialnya, dan tekadnya untuk memisahkan Inggris dari Gereja Katolik Roma. Namun, apa sebenarnya yang terjadi selama pembubaran biara-biara ini? Mengapa raja begitu ingin menutup tempat-tempat suci itu? Dan apa dampaknya bagi masa depan Inggris?

Skintific
Biara Biara Runtuh, Kekuasaan Raja Tumbuh: Dampak Dissolution of the Monasteries
Biara Biara Runtuh, Kekuasaan Raja Tumbuh: Dampak Dissolution of the Monasteries

Baca Juga : Francis Darwin: Putra Charles Darwin yang Bersinar di Dunia Botani


Latar Belakang: Ketegangan Antara Tahta dan Tahta Suci

Pada awal abad ke-16, Inggris masih menjadi bagian dari Gereja Katolik Roma, yang dipimpin oleh Paus di Vatikan. Biara-biara menjadi pusat kehidupan spiritual dan sosial. Mereka tidak hanya tempat beribadah, tetapi juga menjalankan pendidikan, perawatan kesehatan, pertanian, dan kegiatan amal. Banyak biara kaya raya karena menerima sumbangan, memiliki tanah luas, dan bebas pajak.

Namun, Raja Henry VIII mulai berselisih dengan otoritas Paus. Penyebab utamanya adalah permintaan Henry untuk membatalkan pernikahannya dengan Ratu Catherine of Aragon—permintaan yang ditolak oleh Paus. Henry kemudian mengambil langkah radikal: memisahkan Gereja Inggris dari Roma dan menjadikan dirinya sebagai Pemimpin Tertinggi Gereja Inggris (Supreme Head of the Church of England) pada 1534, lewat Act of Supremacy.

Pemutusan hubungan ini menciptakan celah besar dalam struktur keagamaan negara, dan menjadi titik awal pembubaran ribuan biara yang selama ini berada di bawah kuasa gereja Katolik.


Langkah-Langkah Pembubaran Biara

Dibantu oleh penasihatnya yang cerdas dan ambisius, Thomas Cromwell, Henry VIII mulai melancarkan pembubaran biara secara sistematis.

Berikut tahapan utamanya:

  1. Inspeksi dan Audit (1535–1536)
    Cromwell mengirim tim penyelidik ke seluruh biara di Inggris dan Wales untuk menilai kekayaan mereka dan mengevaluasi moral para biarawan. Laporan-laporan yang muncul—baik benar maupun dibesar-besarkan—menyebutkan adanya penyalahgunaan, kemerosotan moral, dan ketidakpatuhan dalam biara-biara.

  2. Pembubaran Biara Kecil (1536)
    Parlemen mengesahkan undang-undang yang membubarkan biara-biara dengan penghasilan tahunan di bawah £200. Sekitar 300 biara kecil ditutup, dan harta bendanya disita.

  3. Pembubaran Biara Besar (1538–1540)
    Setelah biara kecil ditutup, target berikutnya adalah biara-biara besar dan kaya. Banyak kepala biara yang dipaksa menyerahkan properti mereka kepada mahkota secara “sukarela”, atau menghadapi ancaman kekerasan.

  4. Pemusnahan Fisik dan Redistribusi Tanah
    Bangunan biara dihancurkan atau dibongkar, tanahnya dijual kepada bangsawan dan pendukung politik Henry. Beberapa gereja dijadikan paroki, sementara banyak lainnya hancur dan tak pernah dibangun kembali.


Dampak Ekonomi dan Sosial

Dampak dari Dissolution of the Monasteries sangat luas:

  • Transfer Kekayaan Besar-Besaran
    Sekitar 25% dari tanah Inggris yang sebelumnya dikuasai gereja, berpindah ke tangan kerajaan dan kemudian dijual ke kalangan elit baru. Hal ini memperkaya aristokrasi dan memperluas basis pendukung Henry.

  • Kehancuran Sosial
    Biara selama ini menyediakan layanan sosial penting—pendidikan, rumah sakit, bantuan bagi miskin—dan pembubaran itu meninggalkan kekosongan besar. Banyak orang miskin kehilangan perlindungan, dan pengangguran meningkat.

  • Pemusnahan Budaya dan Arsitektur
    Ratusan bangunan bersejarah, manuskrip, dan karya seni gereja dihancurkan. Ini dianggap sebagai salah satu bencana budaya terbesar dalam sejarah Inggris.

  • Penindasan dan Pemberontakan
    Salah satu reaksi terbesar terhadap pembubaran ini adalah Pilgrimage of Grace (1536), pemberontakan besar di Yorkshire. Namun, pemberontakan itu gagal dan dibalas dengan tindakan keras.


Warisan Sejarah yang Panjang

Setelah Henry VIII wafat pada 1547, perubahan keagamaan masih terus terjadi. Di masa anaknya, Edward VI, arah reformasi makin radikal. Namun saat Mary I naik takhta, Katolik sempat dipulihkan. Dan akhirnya, di bawah Elizabeth I, Protestanisme mengakar kuat, dan warisan pembubaran biara menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur baru Gereja Inggris.

Hingga hari ini, jejak pembubaran biara bisa ditemukan di seluruh Inggris. Reruntuhan biara seperti Fountains Abbey, Glastonbury Abbey, dan Tintern Abbey menjadi objek wisata sejarah, pengingat bisu akan masa ketika kekuasaan raja mampu mengalahkan kuasa gereja.


Kesimpulan: Saat Kekuasaan Duniawi Mengubah Wajah Spiritualitas

Dissolution of the Monasteries bukan sekadar reformasi keagamaan. Itu adalah peristiwa yang mengguncang pilar-pilar tradisional masyarakat Inggris. Di satu sisi, ia memperkuat monarki dan membuka jalan bagi lahirnya Gereja Inggris yang independen. Di sisi lain, ia meninggalkan kehancuran spiritual, sosial, dan budaya yang tak mudah dipulihkan.

Dalam sejarah dunia, peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan politik dan agama bisa bertabrakan dan menghasilkan perubahan besar yang efeknya terasa hingga berabad-abad kemudian.

Skintific